Satu Cup Minuman dari Salah Satu Merk Ternama (Foto : Martedy S.D)
Secangkir minuman “gula” tinggi kalori berharga selangit. Entah apakah hal tersebut patut disebut sebuah ironi atau bukan. Yang jelas, usaha macam itu sudah mulai menjamur di berbagai tempat. Di kota kecil yang sepi ini pun sudah mulai terjamah tempat nongkrong, café dan semacamnya yang menjadi pemasok “komoditas” minuman tersebut. Jika ditilik lebih lanjut, harga jualnya sangat jauh lebih mahal dari biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut. Boleh dikatakan hal ini merupakan perampokan terselubung.
Bagaimana bisa konsumen tidak merasa
dirinya dirampok? Ataukah mereka bahkan tidak menyadari bahwa uang yang mereka
keluarkan tidak sepadan untuk barang yang mereka dapat. Bagaimana bisa perilaku
konsumtif masyarakat kita semakin menjadi-jadi. Ditandai dengan munculnya jenis
usaha yang “barang jualannya” memang menarget masyarakat dengan ideologi
komsumtifitas yang tinggi.
Hanya untuk dipamerkan di akun sosial media
barang sehari saja. Hanya untuk disebut orang yang trendy, goals, dan populer. Sifat-sifat
tersebutlah yang menjadikan terbitnya permintaan pasar akan usaha-usaha
tersebut. Dan hal ini berbanding lurus dengan perilaku konsumtif masyarakat. Setiap
hari nongkrong, setiap hari posting makan atau minum di tempat baru yang asyik.
Semakin marak tongkrongan-tongkrongan milenial tempat anak muda menghabiskan
uangnya untuk hanya sekedar kumpul-kumpul dan “hadir” di media sosial.
Memang efek dari hal ini tidak semuanya
buruk. Ada pula yang menggunakan tongkrongan ini untuk melakukan suatu hal yang
positif. Seperti melakukan remote working
atau brainstorming ide kreatif yang
memang butuh tempat yang nyaman. Sekarang ini, tempat makan dan minum tidak hanya
akan ramai dari perihal rasa saja. Tempat yang asyik dan “social media”able
juga menjadi salah satu faktor penentu ramainya pengunjung. Tetapi mereka juga
akan mudah bosan dengan tempat yang itu-itu saja karena sudah pernah
dikunjungi. Jika keinginan pasar cenderung seperti itu, maka pemilik café
haruslah pandai-pandai menyulap tempat mereka menjadi sesuatu yang
terus-menerus menarik agar tidak kehilangan pelanggan.
Hal ini merupakan sisi positif lain yang
dapat diambil, yaitu melatih jiwa wirausaha masyarakat kita. Akan banyak pula masyarakat
yang ingin mencoba peruntungan membuka usaha yang sedang hip ini. Lapangan
pekerjaan pun akan terbuka luas. Namun, saya sendiri belum mengorek lebih dalam
dampak ekonomi dari berjamurnya usaha elit seperti ini. Apakah lebih cenderung kearah
positif karena terciptanya lapangan pekerjaan ataukah negatif karena membuat
banyak masyarakat kita kian ”miskin” akibat perilaku hidup konsumtif?